Catatan Kecil dari Sorong

Tiga hari yang cukup melelahkan. Tiba di bandara Dominique Edward Osok, Sorong, Papua Barat Daya, pada Kamis siang, 29 April 2023. Tugas pertama, bersama pengurus Region, adalah berkunjung ke kantor Gereja Kristen Injili di Tanah Papua Klasis Sorong untuk beraudiesi dengan Ibu Pdt. Jean Haurissa yang dipercaya memimpin sejak tahun lalu. Agenda bersama beliau adalah meminta kesediaannya menjadi Pokja utusan Region Papua Barat. Permohonan ini melanjutkan tradisi di mana pimpinan klasis dipercaya menjadi Pokja mewakili Region Papua Barat.

Sore hari bertempat di gereja GKI Jemaat Bethesda, berlangsung Konsultasi Region (Konreg) yang memutuskan, salah satunya, melanjutkan kepengurusan sebelumnya untuk periode tiga tahun mendatang (2023-2026). Selain itu, Konreg juga membahas segala sesuatu persiapan Konsultasi Nasional XIV JKLPK yang akan berlangsung pada 25-27 Mei mendatang.

Kegiatan berikutnya, sejak Jumat pagi hingga sore, adalah workshop dengan tema Bertransformasi untuk Berdampak sesuai dengan tema Konas XIV. Acara yang dibuka oleh perwakilan dari Kesbangpol Kota Sorong ini pada akhirnya banyak menyuarakan pergumulan peserta dari berbagai isu. Mulai isu perlindungan anak, kekerasan seksual terhadap perempuan, ketidakadilan ekonomi, isu stunting, isu kerusakan lingkungan, hingga konstelasi politik menjelang pemilu 2024.

Hari terakhir, Sabtu pagi hingga malam, diisi dengan visitasi ke Yayasan Pendidikan Siloam yang concern terhadap isu pendidikan sejak tahun 2000-an. Lalu, berlanjut ke GKI Jemaat Sion Malaingkedi untuk sosialisasi profil JKLPK kepada Majelis Harian Pengurus Jemaat.

Meskipun berlangsung singkat, banyak hal informasi dan pengalaman yang perlu ditindaklanjuti baik oleh Sekretariat maupun pengurus region. Antara lain tentang:

Advokasi Pinang

Dari berbagai isu atau persoalan yang perlu direspon, advokasi pinang menjadi isu terdepan untuk dikerjakan secara berkelanjutan. Advokasi pinang berangkat dari praktik diskriminasi yang dialami oleh mama-mama penjual pinang. Di mana mereka tidak mendapatkan tempat yang layak untuk berjualan. Mereka pada umumnya menjajakan pinang di pinggir jalan atau di trotoar dengan kondisi tempat yang tidak layak dan aman. Tetapi, jika dilihat lebih dalam, advokasi pinang tidak semata bertujuan mendapatkan keadilan dalam akses penjualan pinang, namun untuk mewariskan nilai budaya orang papua. Pinang merupakan jati diri orang Papua. Ia dikonsumsi oleh siapa saja, tua-muda, perempuan-laki, dalam berbagai kesempatan seperti acara adat, perkumpulan keluarga, bahkan dalam tingkah laku keseharian.

Bagi orang papua, mama adalah simbol pemberi kehidupan, maka harus diperlakukan dengan hormat. Karena itu, mama-mama yang menjual pinang di pinggir jalan atau trotoar bukan saja kesulitan untuk mendapatkan penghasilan yang layak, namun juga sedang mendegradasi nilai-nilai luhur atau jati diri mereka. Di sisi lain, terdapat penjual pinang dengan lokasi strategis, memiliki modal dan jaringan, dan mereka biasanya berasal dari luar Papua. Perlu diperhatikan, adalah tidak salah jika orang luar turut menjual pinang yang menjadi ciri khas orang Papua, namun menjadi tidak benar jika orang Papua kalah bersaing dengan adil.

Oleh karena itu, advokasi pinang bertujuan untuk mendesak pemerintah memproduksi kebijakan yang adil terhadap tata kelola pinang dari hulu hingga hilir. Kebijakan ini harus memuat tentang, pertama, memberikan akses lahan yang luas kepada orang Papua untuk memproduksi pinang dalam jumlah besar. Kebanyakan pinang yang dijual berasal dari produksi rumah tangga sehingga tidak menhasilkan pendapatan yang maksimal. Kedua,

Memberi akses permodalan. Bagi mama-mama yang ingin meningkatkan jumlah produksi tentunya membutuhkan modal, baik untuk memperluas lahan produksi, biaya perawatan, hingga perluasan penjualan.

Ketiga, membangun infrastruktur pendukung untuk meningkatkan hasil penjualan pinang. Seperti membangun pasar khusus, membangun toko, atau menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk membantu pemasaran pinang. Tokoh kunci infrastruktur adalah mama-mama penjual pinang itu sendiri. Jangan sampai, misalnya, jika membangun tempat usaha atau toko yang diperuntukkan kepada mama-mama namun berlokasi di tempat yang sepi atau jauh dari keramaian orang.

Kebijakan ini jika berhasil diwujudkan dan berjalan dengan baik, maka dengan sendirinya dapat meningkatkan pendapatan orang asli papua. Dengan begitu, indeks kemiskinan bisa semakin ditekan. Seperti kita ketahui, kemiskinan memiliki efek domino yang mengkuatirkan seperti anak yang putus sekolah, kelaparan, gagal tumbuh kembang (stunting), kekerasan dalam rumah tangga.

Relasi dengan Gereja

Poin kedua yang perlu diperhatikan adalah menyangkut relasi dengan gereja. Region Papua Barat memiliki ciri khas dalam pelayanannya. Peran gereja tidak bisa diabaikan. Partisipan di Region Papua Barat pasti memiliki ikatan kuat dengan gereja, baik partisipan yang berada di dalam struktur gereja atau di luar. Gereja memiliki posisi tawar (position bargaining) yang cukup kuat dengan pemerintah. Karena itu, dalam kontek advokasi kebijakan, berkolaborasi dengan gereja menjadi mutlak.

Berkaitan dengan itu, sosialisasi kepada gereja perlu diperkuat oleh Seknas bersama pengurus region. Sosialisasi tidak hanya kepada pimpinan gereja saja, tetapi menyentuh gereja-gereja di akar rumput (jemaat). Ini merupakan tantangan ke depannya mengingat tidak mudah karena membutuhkan energi tidak sedikit, terutama dari sisi anggaran.

Sejauh ini kehadiran JKLPK bisa diterima dengan baik. Pengalaman visitasi ke GKI Jemaat Sion Malaingkedi, sosialisasi JKLPK disambut hangat oleh majelis harian. Mereka berharap ke depannya bisa berkolaborasi untuk merespon isu-isu yang langsung bersentuhan dengan jemaat seperti isu disabilitas dan pemenuhan hak anak. Semoga.

IKUTI MEDIA SOSIAL JKLPK INDONESIA

Designed & Developed by Rivcore Corporation