Jalan Panjang Nan Terjal Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

Pengesahan RUU PKS:

Jalan Panjang Nan Terjal Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

oleh Rainy Maryke Hutabarat

Delapan Tahun Di Tangan DPR

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk program  legislasi nasional prioritas (prolegnas) pada 23 Maret lalu. RUU PKS telah berada di tangan DPR 8   tahun lamanya sebelum akhirnya kembali masuk daftar Prolegnas 2021.

Adanya perundang-undangan penghapusan kekerasan seksual digagas oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2012 dan diusulkan ke DPR sebagai respons terhadap kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.Komnas Perempuan menyadari, perundang-undangan yang ada tak lagi mampu mengenali kasus-kasus kekerasan yang terus  terjadi dan berulang. Dalam catatan Komnas Perempuan saat itu, selama 12 tahun (2001-2012) sekurangnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada 2012, tercatat sekitar 4.336 kasus kekerasan seksual dan 2.920 di antaranya terjadi di ranah publik/komunitas dengan  mayoritas  adalah pemerkosaan dan pencabulan (1620). Pada 2013 kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus, yang artinya setiap 3 jam sekurangnya 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dari kerja kajian tentang kekerasan seksual di berbagai ranah dan konteks termasuk konteks konflik sosial, Komnas Perempuan mengidentifikasikan 15 jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yakni (1) Pemerkosaan (2) Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Pemerkosaan (3) Pelecehan Seksual (4) Eksploitasi Seksual (5) Perdangan Perempuan untuk Tujuan Seksual (6) Prostitusi Paksa (7) Perbudakan Seksual (8) Pemaksaan Perkawinan termasuk cerai gantung (9) Pemaksaan Kehamilan (10) Pemaksaan Aborsi (11) Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi (12) Penyiksaan Seksual (13) Penghukuman Tidak Manusiawi dan Bernuansa Seksual (14) Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan atau Mendiskriminasikan Perempuan (15) Kontrol Seksual Termasuk Lewat Aturan Diskriminatif Beralasan Moralitas dan Agama. Tentu saja, Komnas Perempuan menyadari masih ada lagi kekerasan seksual lainnya yang belum diidentifikasikan namun belum mendapatkan informasi tentang kasusnya.

Selama empat tahun Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil bersinergi melobi DPR agar mengeluarkan perundang-undangan yang mampu mengenali berbagai kasus kekerasan seksual sekaligus memenuhi hak perempuan korban atas keadilan restoratif. Baru pada  2016, Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik dan draf RUU PKS. RUU tersebut memuat 9 jenis kekerasan seksual, disaring dari 15 jenis, yakni (1) Pemerkosaan (2) Pelecehan Seksual (3) Penyiksaan Seksual (4) Eksploitasi Seksual (5) Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi (6) Permaksaan Perkawinan (7) Pemaksaan Pelacuran (8) Perbudakan Seksual (9) Pemaksaan Aborsi.  

Saat itu,DPR sepakat memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2016. Tak kurang Presiden Joko Widodo pada Juni 2016 menyatakan dukungan terhadap RUU PKS. Dalam Rapat Paripurna 6 April 2016,  RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR. Selanjutnya, DPR mengirim draf RUU PKS ke pemerintah dan oleh pemerintah rumusan RUU PKS yang memuat 152 pasal  disaring menjadi 50 pasal.

Pembahasan RUU-PKS dilanjutkan pada 2018 dan Komisi VIII ditugaskan untuk membahasnya. Komisi VIII mengundang sejumlah elemen masyarakat untuk mendapatkan masukan, namun di akhir 2018 DPR mendadak memutuskan RUU PKS ditunda pembahasannya hingga selesai Pemilu 2019. Usai Pemilu 2019, RUU PKS menjadi salah satu draf perundang-undangan yang harus dikebut DPR periode 2016-2019,seraya diiringi pro kontra publik secara luas dan tajam. Tak kurang Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo, berjanji akan mengesahkan RUU PKS sebelum periode. Namun kenyataannya, RUU PKStidak disahkan, bahkan dialihkan ke DPR periode 2019-2024. Setelah melalui proses evaluasi Prolegnas Prioritas 2020 di Badan Legislatif (Baleg), DPR memutuskan pencabutan RUU PKS dari daftar Prolegnas. Alasan utamanya, RUU PKS pembahasannya sulit dan mengajukan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Pada Oktober 2020, RUU PKS kembali masuk Prolegnas 2021  bukan sebagai rancangan perundang-undangan take over melainkan yang baru yang harus dimulai dari awal.

Hambatan dan Tantangan

Pendekatan agama terhadap kekerasan seksual di kalangan DPR merupakan salah satu hambatan dalam pengesahan RUU PKS.Pendekatan agama berpandangan, RUU PKS harus dilandaskan nilai-nilai  agama. Naskah akademik dan draf yang ditulis oleh Komnas Perempuan dipandang belum mengakomodir nilai-nilai agama dan dinilai liberal. Definisi-definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana dalam RUU PKS dipandang berperspektif liberal dan mempromosikan seks bebas dan pro LGBT. Argumen atas tuduhan seks bebas adalah, RUU PKS tidak secara eksplisit melarang hubungan seksual di luar pernikahan yang berdasarkan suka sama suka yang juga dikategorikan zina. RUU PKS juga tidak mengkriminalkan hubungan sesama jenis sehingga pro LGBT.

Seiring pendekatan agama, tabu-tabu masih melingkupisebagian masyarakat. Mengungkapkan kasus pemerkosaan dalam rumah tangga misalnya, apalagi pelakunya saudara atau bahkan ayah sendiri, sama saja dengan membongkar aib keluarga. Solusi damai disertai pembenaran adat-istiadat, dipandang lebih menyelesaikan masalah tanpa banyak melukai pelaku dan keluarganya maupun keluarga korban. Padahal solusi di luar hukum pidana karena anggapan tabu, berarti impunitas bagi pelaku dan mengabaikan korban serta dampak kekerasan seksual yang dapat berlangsung seumur hidup baik psikis, sosial maupun ekonomi.

Komnas Perempuan menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan tersebut merupakan tafsir yang dikonstruksikan secara sepihak oleh kelompok penolak RUU PKS. Hubungan seks tanpa kekerasan tidak terkait-paut dengan RUU PKS yang merupakan lex specialis untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Aturan hubungan di luar pernikahan justru dibahas dalam Draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang juga kontroversial. 

Politisasi RUU PKS merupakan faktor hambatan yang lain. Dalam Pemilu 2019, calon-calon legislatif atau partai-partai tertentu menolakRUU PKS dan menjadikannya sebagai alat untuk menarik suara pemilih. Pencabutan RUU PKS dari daftar prolegnas tak terlepas dari politisasi tersebut. 

Menurut survei INFID dan Indonesia Judicial Research Society pada 2020, sebanyak 70,5 persen dari 2.210 responden di 34 provinsi mendukung pengesahan RUU PKS. Begitu juga survei dariKelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia pada 2020, mencatat 87,8% dari 400 responden di 5 kota besar mendukung RUU PKS.Jadi masyarakat sendiri pada dasarnya memandang penting adanya perundang-undangan yang mampu memberi keadilan restoratif bagi para korban kekerasan.

Memang, rape culture masih hidup pada sebagian masyarakat. Budaya pemerkosaan memandang perempuan sebagai sumber kekerasaan seksual. Perempuan diperkosa akibat kesalahan sendiri, misalnya, dandanannya yang dipandang menggoda, bajunya yang minimalis atau pulang larut malam seorang diri atau berduaan dengan laki-laki di tempat yang jauh dari keramaian. Bila perempuan itu seorang Muslim dan tidak menutup auratnya, maka tentu saja ia diperkosa. Rape culture berakar dalam kultur patriarki yang memandang perempuan sebagai tubuh seksual dan menempatkan laki-laki sebagai penakluk, penguasa bahkan penikmat seksualitas perempuan. Karena itu, perempuan perlu mengatur dandanannya, busananya atau menutup auratnya agar tidak diperkosa. Di sini jugalah letak kemendesakan RUU PKS: ia tak sebatas menghukum pelaku melainkan sekaligus menghapus rape culture dengan memutus keberulangan serta menghukum sekaligus merehabilitasi pelaku, memenuhi hak korban atas pemulihan dan restitusi dan dengan kekuatan hukum yang bersifat koersif memaksa masyarakat untuk memghindari tindak kriminal kekerasan seksual. Salah satu keunggulan RUU PKS adalah adanya aspek pencegahan yang melibatkan pihak swasta, pemerintah maupun masyarakat dalam membangun kawasan bebas kekerasan, misalnya di lembaga-lembaga pendidikan, perusahaan-perusahaan atau  dunia kerja dan ruang publik.

Advokasi RUU PKS: Mengayuh Di Antara Polarisasi

Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) memandang penting menyamakan persepsi atas RUU PKS. Perbedaan suara akan menyulitkan langkah-langkah advokasi RUU PKS di DPR. Karena itu, meski masing-masing menyusun naskah akademik dan RUU PKS dan terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, keduanya berupaya duduk bersama, memadu-padankan pikiran dan bersepakat  agar memiliki naskah NA yang sama untuk diajukan ke DPR. Langkah-langkah advokasi ke DPR sertasinergi dengan kementerian/lembaga terkait, Komnas Perempuan dan JMS dapat melakukannya masing-masing. Selain sinergi dengan JMS, Komnas Perempuan juga menggandeng  dengan KPPPA yang turut mendukung pengesahan RUU PKS.

Salah satu upaya melobi DPR adalah, Komnas Perempuan melakukan audiensi selain Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) bersama Baleg untuk menyamakan persepsi terkait sejumlah isu krusial dalam RUU PKS  sekaligus mendorong agar RUU PKS dibahas oleh Baleg dan menjadi inisiatif DPR.Partai-partai pendukung RUU PKS jumlahnya lebih banyak ketimbang yang menolak, yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, Gerindra, Nasdem dan PKB. Dukungan juga datang dari Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KKP-RI) yang beranggotakan para perempuan legislator yang mencapai 21 persen suara. Hanya PKS yang menolak keras dengan dasar nilai-nilai agama. Organisasi-organisasi agama seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadyah dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga telah menyatakan dukungan terhadap RUU PKS.

Polarisasi di DPR tak semata soal penolakan terhadap RUU PKS melainkan juga adanya argumen bahwa untuk pengesahan RUU PKS, RKHUP harus didahulukan. Padahal, kedua rencana perundang-undangan ini berbeda jelas sebab RUU PKS bersifat lex specialisdengan tujuan 1. Mencegah segala bentuk kekerasan seksual; 2. Menangani, melindungi dan memulihkan korban; 3. Menindak pelaku; 4. Menjamin terlaksananya kewajiban negara, masyarakat, keluarga dan korporasi dalam mewujudkan Kawasan bebas dari Kekerasan. Jenis-jenis kekerasan seksual dalam RUU PKS tidak dikenal dalam RKUHP. Hanya RUU PKS yang mampu memberi akses keadilan secara restoratif bagi korban kekerasan. RUU PKS juga tak hanya untuk perempuan -- walau korban kekerasan seksual terbanyak adalah perempuan – melainkan siapa saja mengalami kekearsan seksual baik perempuan, laki-laki maupun minoritas seksual.

Advokasi  Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

Penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan tanggungjawab yang bersifat lintas, baik lintas kementerian/kelembagaan terkait, lembaga HAM Negara, lembaga agama maupun pihak swasta, pers dan masyarakat sipil. Salah satu mandat khusus Komnas Perempuan adalah, menciptakan situasi kondusif untuk menghapus semua bentuk kekerasan terhadap perempuan. Untuk memenuhi mandat ini, Komnas Perempuan menyusun program-program kerja pioritas yang komprehensif, mulai  dari aspek reformasi kebijakan dan hukum, kementerian/kelembagaan negara, kajian-kajian, penguatan pengada layanan maupun partisipasi masyarakat.

Membangun Kawasan Bebas Kekerasanmerupakan salah satu program prioritas. Subkomisi Pendidikan ditugasi mengampu program ini dengan fokus lembaga-lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di lembaga-lembaga pendidikan tergolong tinggi dan penghapusan kekerasan dapat dibangun melalui kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Untuk ini, Komnas Perempuan kerjasama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dan Pendidikan Sekolah Guru Agama (PSGA) berdasarkan SK Dirjen Pendis Kemenag Tahun 2019.

Selain di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, Komnas Perempuan juga menandatangani perjanjian kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan ormas keagamaan seperti PP Muhammdyah, PP AIsyiah, PP Maarif NU, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Majelis Pendidikan Kristen (MPK), Komisi Pendidikan KWI serta Puspeka Kemendikbud untuk menciptakan kawasan bebas kekerasan di lembaga masing-masing. Untuk memperluas Kawasan Bebas Kekerasan, Komnas Perempuan juga mendorong Kemendikbud agar mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan.Kemendikbud kini tengah menyusun Permendikbud Antikekerasan Seksual di kampus yang memuat aturan tentang mekanisme penerimaan laporan, tindak lanjut hingga membentuk satuan tugas kerja pencegahan kekerasan seksual.

Pada tingkat perundang-undangan nasional, Komnas Perempuan juga mengadvokasi judicial review terhadap perundang-undangan nasionalyang berpotensi mengkriminalkan perempuan dan perempuan korban, di antaranya UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  Juga memberi masukan untuk pelindungan kelompok rentan khususnya perempuan, anak dan penyandang disabilitas dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (RHK) mengampu tugas ini. Program prioritas lain adalah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) dan konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang diampu Subkomisi Pemulihan bersama RHK. SPPT PKKTP bertujuan membangun kerjasama antarpihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan serta membuka akses ke pelayanan yang mudah dan terjangkau. Konsep Keadilan Restoratif yang tengah dikaji adalah tentang pelanggaran HAM masa lalu dan masyarakat adat.

Pada tingkat daerah, Komnas Perempuan juga mengadvokasi kebijakan/peraturan daerah yang diskriminatif di antaranya menyasar tubuh merempuan dan prostitusi. Hingga kini terdapat 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas. Ke-62 kebijakan daerah ini terbit antara tahun 2000 - 2015 dan tersebar di 15 provinsi, yang terdiri dari 19 peraturan daerah dan 43 peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi juga kota/kabupaten. Sekurangnya, ada 15 kebijakan serupa yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Sebagian besar aturan ini diterapkan kepada Aparatur Sipil Negara dan lembaga-lembaga publik di daerah, beberapa di antaranya secara spesifik memerintahkan pelaksanaannya juga mencakup lembaga pendidikan. Kerja-kerja ini diampu oleh Gugus Kerja Perempuan dan Keberagaman (GKPK). Advokasi penghapusan kekerasan di dunia kerja dan pekerja migran dilakukan oleh Tim Pekerja Perempuan (Tim PP).

Advokasi hukum dan kebijakan tentu saja membutuhkan basis data. Untuk ini, pemantauan dan kajian tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai ranah maupun konteks termasuk dunia kerja, masyarakat adat, Rumah Sakit Jiwa dan Panti Rehabilitasi, konflik sosial dan seterusnya. Secara khusus, tugas ini diampu oleh Subkomisi Pemantauan dan Bidang Resource Center.

Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan takkan berkelanjutan tanpa membangun nonviolence culturedi terngah-tengah masyarakat.Upaya mentransformasikan dunia yang patriarkis dan budaya kekerasan menjadi dunia yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan tanpa kekerasan harus dilakukan secara berkelanjutan, terencana dan luas. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan termasuk penyandang disabilitas melonjak justru di masa pandemi dengan pembatasan ruang gerak sosial. Subkomisi Partisipasi Masyarakat bertugas mengampu sosialisasi tentang kesetaraan dan keadilan gender serta  mengenali jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan disamping kampanye RUU PKS dan RUU PPRT.

Referensi:

  1. Komnas Perempuan, 15 bentuk Kekerasan Seksual, Sebuah Pengenalan
  2. Komnas Perempuan, 6 Keunggulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  3. Komnas Perempuan, Membangun Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan: Perkembvangan Konsep Sistem Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP, 2017).
  4. https://www.cnnindonesia.com/nasional /20200702090607-32-519880/riwayat-ruu-pks-di-dpr-sarat-kecurigaan-mengulur-pembahasan
  5. Tempo edisi 11 April 2021
  6. Tempo edisi  24 April 2021

 

Rainy Maryke  Hutabarat

Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024

Ketua Tim Advokasi Internasional

Salah seorang dari dua pengampu Tim Kajian Disabilitas

IKUTI MEDIA SOSIAL JKLPK INDONESIA

Designed & Developed by Rivcore Corporation