Seruan Konsultasi Nasional XIV JKLPK

Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) telah menyelenggarakan Konsultasi Nasional XIV pada 25-27 Mei 2023. Konsultasi Nasional XIV tidak semata untuk membahas urusan internal. Namun, Konsultasi Nasional juga wadah refleksi perjalanan bangsa selama tiga tahun terakhir, dan ajang untuk memberikan kontribusi pemikiran dan aksi untuk tiga tahun ke depan. Hal ini sejalan dengan visi JKLPK, yaitu untuk menghadirkan kesejahteraan sosial, kesetaraan, keadilan, dan perdamaian kepada mereka yang miskin, lemah, tertindas dan menderita. Oleh karena itu, menyikapi persoalan kekinin yang terjadi, JKLPK menyerukan kepada pemerintah sebagai berikut:

1. Kebebasan Beribadah dan Beragama (KBB)

Negara sampai saat ini belum hadir seutuhnya untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi tiap warga negara untuk bisa beribadah dan beragama. Berbagai laporan masih menuliskan praktik diskriminasi dan kriminalisasi yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran. Menurut Setara Institute, sepanjang 2022 terjadi 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan (KBB) yang didominasi oleh kasus gangguan beribadah, delik penodaan agama, dan penolakan ceramah. Provinsi yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Jawa Timur dengan 34 peristiwa, Jawa Barat (25), dan DKI Jakarta (24). Wujud lain intoleransi pun dapat dilihat dari paktik politik identitas yang kerap terjadi dalam kontestasi politik, seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, dan pemilihan calon presiden-wakil presiden.

Dalam beberapa kasus, aparatus negara justru menjadi pihak yang turut melanggengkan pelanggaran hak KBB. Aparat negara bukannya menindak kelompok intoleran, tapi justru membiarkan mereka leluasa melakukan kebencian (hate speech), teror, dan bahkan kriminalisasi. Selain itu, negara malah meminta kelompok korban untuk mengalah demi menghindari konflik. Seperti bersedia untuk relokasi rumah ibadah atau bahkan mengubah keyakinan/doktrin yang dianggap penyebab penolakan. Padahal, negara seharusnya tidak boleh masuk ke ruang privat keyakinan seseorang atau kelompok.

Pelanggaran hak KBB tidak hanya dialami oleh kaum Nasrani saja, tetapi juga oleh kelompok keyakinan lainnya seperti Ahmadiyah, Syiah, Baha’i, dan agama-agama lokal. Mereka mengalami nasib yang sama dengan umat Kristen seperti kesulitan mendirikan rumah ibadah atau merayakan hari besar keagamaan. Kesulitan ini kerap kali dijustifikasi melalui penerbitan peraturan daerah yang diskriminatif dan rasis. Pemerintah daerah dapat melakukan ini dengan dalil otonomi daerah. Sementara itu, tindakan tegas pemerintah pusat untuk menganulir aturan tersebut belum terlihat. Jika ini tidak disikapi serius, sama saja pemerintah membiarkan benih fundamentalisme tumbuh subur.

2. Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Setelah reformasi, usaha memajukan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami kemajuan dibandingkan ketika zaman otoritarian orde baru. Berbagai peraturan pro HAM pun lahir seperti amandemen UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Tapi, pemajuan HAM ini masih sebatas di kertas saja. Dalam praktiknya, masih terjadi pelanggaran HAM di berbagai sektor. Selain pelanggaran hak KBB seperti disebutkan di atas, pelanggaran HAM yang sering disorot adalah kriminalisasi terhadap aktivis Papua. Dengan alasan menjaga NKRI, aktivis HAM Papua sering kali mengalami diskriminasi dan kriminalisasi ketika menyuarakan pendapat tentang ketidakadilan yang terjadi di tempat mereka. Pendekatan keamanan (militerisme) justru memperkeruh situasi. Dan ini justru menjadi celah bagi kelompok tertentu yang ingin membawa kasus Papua ke dunia internasional. Pendekatan keamanan seharusnya tidak lagi digunakan pemerintah. Pendekatan kebudayaan (dialog) yang harus diutamakan. Masalah Papua tidak boleh lagi dilihat dari sudut pandang Jakarta, tapi mendengar aspirasi masyarakat asli Papua.

Selain itu, komitmen pemerintah untuk mengusut tuntas kasus-kasus HAM masa lalu masih terus dipertanyakan. Kasus seperti Peristiwa 1965, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Kudatuli 1996, Semanggi I dan II, Trisakti 1998, dan pembunuhan aktivis Munir, dan pelanggaran HAM berat di Papua belum menemui titik terang. Untuk peristiwa 1965, pemerintah telah menetapkan penyelesaian secara non-yudisial. Langkah ini harus kawal agar berpihak kepada korban.

Pelanggaran HAM lainnya yang masih terjadi juga dialami oleh kelompok disabilitas dan LGBT. Menyangkut kelompok penyandang disabilitas, pemerintah telah menindaklanjuti salah satu ketentuan di UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan membentuk Komisi Nasional Disabilitas. Tugas komisi ini adalah untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan advokasi terhadap pelaksanaan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Hanya saja, proses pembentukan komisi ini belum sesuai dengan harapan. Mengapa? (1) Pemerintah kurang melibatkan organisasi atau kelompok penyandang disabilitas. (2) Semangat penegakan hak asasi manusia, sesuai spirit UU No.8/2016 belum terlihat utuh karena masih mengutamakan isu kesejahteraan sosial. Seperti diketahui sebelumnya, UU No.8/2016 adalah pengganti dari UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang melihat penyandang disabilitas sebagai komunitas yang perlu dikasihani.

Sedangkan UU No.8/2016 memiliki paradigma lebih maju, yaitu mengutamakan pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini kemudian berdampak pada anggaran Komisi Nasional Disabilitas. Pemerintah menempatkan penganggaran Komisi di Kementerian Sosial, bukan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kekuatiran kelompok penyandang disabilitas adalah jika Komisi ini di bawah Kementerian Sosial maka program Komisi lebih kepada isu-isu kesejahteraan sosial seperti rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, penanganan sosial. Namun, kalau ditempatkan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, program Komisi tidak berhenti di isu-isu kesejahteraan semata, tetapi juga advokasi kebijakan dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sesuai amanat dari UU No.8 Tahun 2016.

Begitu juga dengan kelompok LGBT. Karena perbedaan orientasi seksualnya, mereka kerap kali distigma negatif. Ironisnya, kelompok penentang sering kali menggunakan dalil ayat-ayat suci. Kelompok penentang tidak hanya berasal dari masyarakat saja, tapi juga didukung oleh aparatur negara, termasuk dalam pembuatan kebijakan yang diskriminatif. Pada akhirnya, kelompok LGBT semakin tersudut dan terkucilkan. Mereka terpaksa menyembunyikan identitasnya dengan alasan keamanan. Negara yang seharusnya bertugas pada pemenuhan hak dan melindungi mereka dari kelompok penentang, justru turut mendiskriminasi mereka dengan alasan yang tidak masuk akal: membahayakan masa depan bangsa.

Kondisi prihatin lainnya adalah tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law dan pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkait UU Cipta kerja, emerintah beralasan undang-undang ini akan memangkas birokrasi yang tidak efektif, tidak efisien, dan korup. Dengan Omnibus Law, birokrasi perijinan dunia usaha akan lebih cepat, efektif, dan transparan. Dengan begitu, animo investor asing untuk berinvestasi di Indonesia semakin tinggi, dan akan  membuka lapangan kerja yang lebih luas. Namun, organisasi masyarakat sipil menilai UU ini hanya untuk menguntungkan korporasi dengan menghasilkan reorganisasi ruang-ruang akumulasi kapital baru. Sedangkan masyarakat, khususnya petani, buruh, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya akan semakin buruk dan terpinggirkan. Demikian halnya dengan lingkungan.

Kemudian mengenai revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai melemahkan penegakan hukum dengan menempatkan staf KPK sebagai aparatur sipil negara. Dengan kata lain, KPK tidak lagi independen sebagai lembaga negara, namun menjadi kesatuan dengan pemerintah. Selain itu, wewenang KPK diperlemah karena harus meminta izin terlebih dahulu ketika akan melakukan penyadapan. Iklim demokrasi dan HAM semakin suram ketika suara-suara penolakan, baik di lapangan maupun di media sosial, direspon secara berlebihan oleh aparat penegak hukum.

3. Anak dan Perempuan

Kebijakan pemerintah untuk melindungi anak-anak Indonesia masih lemah. Kejahatan seksual terjadi di mana-mana. Dan ironinya, pelaku sering kali luput dari hukum atau divonis ringan oleh pengadilan. Meskipun regulasi tentang anak sudah banyak, tapi dalam implementasinya belum maksimal. Anak sebagai kelompok rentan, masih menjadi obyek pelecehan seksual, perundungan, dan obyek politik. Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah terkait kekerasan seksual kepada perempuan dan anak-anak. Merujuk Catatan Tahunan 2022 Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2021 terjadi 338.496 kasus kekerasan seksual yang berasal dari tiga sumber, yaitu pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, data lembaga layanan masyarakat dan pemerintah, dan dari badan peradilan agama. Dari data ini, kekerasan yang terjadi pada anak (0-17 tahun) berjumlah 2.719 korban, yang terdiri dari 1.691 korban di ranah personal dan 1.028 korban dari ranah publik.

Kekerasan seksual dapat terjadi bukan hanya karena ada peluang, tetapi juga akibat cara berpikir yang masih dipengaruhi budaya patriarki dan relasi kuasa. Budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan terhadap perempuan. Sedangkan relasi kuasa menempatkan orang lain sebagai sub ordinasi atas kekuasaan tertentu. Meskipun pemerintah dan DPR telah mensahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kasus kekerasan seksual masih terus terjadi, termasuk pelaku yang berasal dari pemuka agama. Seperti kasus yang terjadi di Alor, Nusa Tenggara Timur, di mana salah satu pemuka agama melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak perempuan yang masih bersekolah. Bisa jadi, kasus serupa banyak terjadi di tempat lain, dan banyak yang tidak terungkap.

4. Lingkungan Hidup

Kebijakan pemerintah tentang Food Estate terus berjalan meski menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Food Estate adalah proyek ambisius pemerintah untuk membuka lahan pertanian di beberapa tempat secara massif, yaitu Sumatera Utara dengan luas 61 ribu ha, Kalimantan Tengah (30 ribu ha), Nusa Tenggara Timur (10 ribu ha), Papua, (2,6 juta ha). Melalui proyek ini pemerintah menargetkan Indonesia memiliki pasokan pangan yang cukup di masa depan. Kebijakan pembangunan lumbung pangan yang mengandalkan korporasi hanya akan meminggirkan petani dari pertaniannya. Berbagai persoalan dan konflik menyangkut petani dan pertanian belum terselesaikan.

Perjuangan dan tuntutan petani belum juga terjawab, menyangkut adanya kebijakan yang melindungi mereka, terutama terkait hak penguasaan (kepemilikan) lahan, akses bibit berkualitas, jaminan ketersediaan pupuk, insentif modal, memangkas rantai distribusi hingga pembangunan pabrik untuk pengolahan hasil produksi petani. Dengan begitu, rantai pasok pangan akan memihak kepada petani. Lumbung pangan berbasis petani juga akan mengurangi resiko pemanasan global mengingat tidak diperlukan ekspansi lahan secara besar-besaran seperti yang dilakukan oleh korporasi.

Selanjutnya tentang industri ekstraktif (minerba dan migas). Meskipun sektor ini telah terbukti merusak lingkungan (global warming), pemerintah tetap saja mengandalkannya untuk menambah pemasukan. Memang berbagai kebijakan telah dibuat untuk mengurangi emisi karbon seperti skema REDD++ dan moratorium sawit, tapi tetap saja belum efektif. Hal ini terjadi karena penegakan hukum belum berjalan maksimal. Bahkan, pelaku pembakaran hutan justru dibebaskan ketika dibawa ke ranah pengadilan. Karena itu, ketergantungan pada industri ekstraktif harus mulai dikurangi. Pemerintah seharusnya mulai mendesain kebijakan industri yang ramah lingkungan.

5. Pemilu 2024

Sejatinya demokrasi bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Dan pemilu merupakan mekanisme demokrasi untuk memastikan kedaulatan rakyat tersebut tidak disalahgunakan, yaitu dengan memilih pemimpin yang pro rakyat. Konsep ideal ini bisa terwujud jika proses penyelenggaran pemilu berjalan dengan lancar. Namun, pada nyatanya tidak demikian. Pertama, kita terlalu fokus pada pencalonan presiden dan wakil presiden, sementara itu lengah terhadap proses pencalonan anggota dewan dari tingkat pusat hingga daerah. Padahal, rekam jejak mereka sangat menentukan arah demokrasi ke depan akan seperti apa. Rekam jejak yang buruk tentunya menghasilkan produk kebijakan yang buruk pula. Kedua, suara tidak sah Pemilu 2019 untuk DPR RI mencapai 17 juta suara. Untuk mengurangi suara tidak sah pada Pemilu 20124 maka sangat penting melakukan sosialisasi yang masif kepada pemilih pemula mengingat jumlah mereka yang banyak pada Pemilu yang akan datang. Sayangnya, sosialisasi Pemilu kepada mereka masih minim. Penyelenggara pemilu, termasuk partai politik, masih berfokus kepada proses pencalonan presiden dan wakil presiden.

Ketiga, ruang digital masih dipenuhi oleh kampanye negatif, ujaran kebencian, dan politik identitas. Persoalan ini sebenarnya sudah lama, kemudian semakin mencuat pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 dan Pemilu 2019. Menuju Pemilu 2024 diperkirakan eskalasi kampanye negatif dan politik identitas akan semakin membesar di ruang-ruang digital.  Keempat, munculnya kepentingan kembali kepada sistem proporsional tertutup, di mana rakyat tidak bisa memilih nama calon secara langsung, namun diserahkan kepada internal partai. Persoalan ini masih dibahas di Mahkamah Konstitusi, dan seandainya MK mengabulkan, tentu saja kualitas demokrasi kita akan semakin menurun. Kelima, demokrasi populisme. Yaitu munculnya tokoh atau lembaga politik yang menggunakan identitas agama atau etnis tertentu untuk meraih suara rakyat. Ini bahaya bagi demokrasi kita karena ketika mereka terpilih maka kelompok-kelompok minoritas akan semakin terpinggirkan dan terabaikan. Tidak hanya itu. Mereka juga akan memproduksi kebijakan yang diskriminatif. Keenam, bagi rakyat miskin momen Pemilu merupakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Para calon memakai cara kotor berupa politik uang untuk membeli suara rakyat. Jika ditelisik lebih dalam, menjadi pertanyaan sudah sejauh mana Pemilu yang berlangsung setiap lima tahun berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.

6. Ibu Kota Negara

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara atau IKN. Alasan pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara adalah untuk pemerataan ekonomi, di mana perputaran uang mayoritas berada di Jawa. Karena itu, pemindahan Ibu Kota diharapkan dapat mengatasi ketimpangan ekonomi, infrastruktur, dan juga populasi. Namun, rencana ini mendapat kritik tajam oleh publik. Misalnya, rencana ini untuk memberi karpet merah kepada para investor skala besar menguasai pusat bisnis. Pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) diperkirakan dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Misalnya, konflik agraria akan muncul dan meningkat. Perebutan dan perampasan tanah akan mengakibatkan tersingkirnya penduduk lokal atau masyarakat adat dari ruang hidupnya.Selain itu, pembentukan undang-undang ini dinilai tidak transparan serta minim pelibatan publik. Kritik berikutnya adalah seharusnya pemerintah menyelesaikan masalah utama di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, bukan justru meninggalkannya dengan memindahkan Ibu Kota.

Demikian Seruan Konsultasi Nasional XIV JKLPK disampaikan. Semoga dapat menjadi perhatian serius bagi kita semua.

IKUTI MEDIA SOSIAL JKLPK INDONESIA

Designed & Developed by Rivcore Corporation